Perpustakaan Sebagai Salah Satu Indikator Utama Dalam Mendukung Universitas Bertaraf Internasional

By. Kalarensi Naibaho

PENGANTAR
Istilah “World Class University” sedang sangat populer, khususnya di kalangan perguruan tinggi Indonesia. Istilah  ini semakin bergema terutama sejak pemerintah mengeluarkan SK mengenai otonomi bagi beberapa perguruan tinggi negeri (UI, UGM, ITB, IPB). Hampir semua perguruan tinggi tersebut secara tegas maupun tersirat mencantumkan visinya menuju “World Class University” atau “Universitas Bertaraf Internasional”. Beberapa perguruan tinggi swasta, jelas-jelas ‘mengklaim’ dirinya sebagai universitas bertaraf internasional.

Menjadi ‘universitas berkelas internasional’ bukan persoalan teknis semata. Proses pembelajaran di perguruan tinggi bukanlah sebatas menghasilkan sejumlah lulusan bergelar sarjana, master dan doktor. Visi suatu perguruan tinggi menjadi ‘universitas bertaraf internasional’ memerlukan pemahaman dan kajian mendalam mengenai kondisi objektif, sehingga diharapkan dapat menciptakan strategi yang efektif untuk mewujudkan visi tersebut. Perlu diingat, bahwa dunia pendidikan tinggi juga tidak terlepas dari unsur sosial politik yang terjadi di masyarakat sehingga pengembangan universitas juga sangat terkait dengan kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Jika Indonesia, melalui DIKTI ingin mewujudkan harapannya memiliki 25 universitas berkelas internasional, ada baiknya  beranjak dari kenyataan dan fakta-fakta yang ada seputar dunia pendidikan tinggi kita. Hal ini otomatis berlaku untuk perpustakaan. Pembahasan mengenai perpustakaan perguruan tinggi akan selalu terkait dengan lembaganya, dalam hal ini universitas. Kita tidak mungkin membahas bagaimana mengembangkan perpustakaan A misalnya, dengan mengabaikan universitas A nya.

PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA

Kondisi Objektif
Data statistik menunjukkan bahwa  publikasi ilmiah Indonesia di tingkat internasional hanya menyumbang 0,012% dari total publikasi ilmiah dari seluruh dunia. Padahal, menurut versi Asiaweek, kategori hasil penelitian bernilai 25% dari keseluruhan kriteria yang digunakan dalam penentuan peringkat universitas. Data tersebut juga menunjukkan dengan jelas betapa tertinggalnya kita dibandingkan dengan negara-negara ASEAN saja! Thailand misalnya, menyumbang 0,086%, Malaysia 0,064%, Singapura 0,179% dan Filipina 0,035%. Kontribusi terbesar tentu saja diduduki oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat 30,8%, Jepang 8,2% Inggris 7,9%, Jerman 7,2%, dan Prancis 5,6%.
Sementara hasil penelitian tentang kualitas sistem pendidikan yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC, 2001, dalam Mulyasana, 2002 : 4) terhadap 12 negara di Asia, menempatkan Indonesia pada urutan terakhir dari 12 negara yang diteliti! Menurut Kurniawan (2003 : 166) hasil ini harus dicermati dan dikritisi sehingga pemerintah tidak terlena dengan bongkar pasang terhadap teori dan kebijakan penyelenggaraan pendidikan, tetapi yang paling penting adalah menetapkan standar, filosofi dan dasar yang jelas untuk dijadikan sebagai garis haluan bagi semua jajaran pendidikan, dan diperlukan strategi yang tepat untuk mewujudkannya.
Khusus untuk kondisi perguruan tinggi di Indonesia, tahun 2001, laporan Asiaweek berjudul ”The Best Universities in Asia” menyebutkan, UI peringkat ke-61, UGM ke-68, UNAIR ke-73 dan UNDIP ke-75. Sementara ITB (perguruan tinggi khusus teknologi) menduduki peringkat ke-20 atau merosot lima tingkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peringkat ini bahkan menghilang tahun lalu. Artinya, tidak ada universitas dari Indonesia yang masuk rangking 100 universitas terbaik di Asia! Padahal akses informasi dan kesempatan untuk maju dengan memanfaatkan teknologi semakin terbuka lebar.
Data di atas juga menunjukkan  bahwa perguruan tinggi kita sedang mengalami penurunan kualitas yang sangat signifikan. Signifikansi ini antara lain ditandai rendahnya publikasi ilmiah di tingkat internasional. Walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu SDM dan sumber daya investasi, produktivitas penelitian dan publikasi di Indonesia tetap memprihatinkan. Menurut Kurniawan (2003 : 166) selain kelemahan individu peneliti, permasalahan yang dihadapi juga menyangkut  insentif yang terlalu rendah, adanya  kepincangan yang luar biasa antara gaji dosen di Indonesia dengan di negara-negara lain serta promosi karier yang tidak mendorong untuk melakukan penelitian di bidang masing-masing. Kelemahan lainnya berasal dari lingkungan kerja peneliti, seperti  terbatasnya sumber daya dan sarana penelitian, keterbatasan informasi, situasi institusi yang tidak stabil, kekurangan tenaga pendukung, dan lain-lain. Hambatan-hambatan lain  juga berasal dari lingkungan yang sifatnya makro, seperti tidak adanya iklim dan tradisi ilmiah (baca: budaya akademik) yang mendukung, tidak adanya tuntutan untuk melakukan penelitian, sistem birokrasi yang terlalu kaku, minimnya investasi  untuk melakukan penelitian, serta hambatan  yang berasal dari sumber kebijakan dan politik. Hal ini merupakan indikasi yang banyak dijumpai di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya  Indonesia.

Tantangan
Berbicara mengenai pendidikan tinggi dan outputnya adalah berbicara mengenai kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Tuntutan akan kualitas SDM tidak terlepas dari perkembangan pasar. Pada tahun 2002 lalu, kita sudah mulai berkompetisi dengan negara-negara di kawasan ASEAN (AFTA) dan  paling lambat tahun 2010 kita harus memasuki pasar bebas negara-negara industri maju di kawasan Asia – Pasifik (APEC). Salah satu tantangan yang kini kita hadapi adalah meningkatkan kualitas pendidikan rata-rata penduduk. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk harus meningkat sesuai dengan tuntutan kemajuan ekonomi dan industri pada saat itu. Pada periode tersebut, persaingan antarnegara sudah hampir tidak ada lagi. Kenyataan menunjukkan bahwa pada tahap ini kemampuan perguruan tinggi di Indonesia termasuk di dalamnya memproduksi dan mempublikasikan karya-karya ilmiah yang berkualitas sangat memprihatinkan. Pertumbuhan yang cukup lambat berhadapan dengan perubahan-perubahan sosio-kultural yang amat cepat.
Krisis multidimensional yang sedang melanda Indonesia saat ini disertai dengan berbagai perubahan di berbagai bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni telah menciptakan tantangan baru bagi  perguruan tinggi. Karena itu reaksi perguruan tinggi seharusnya tidak hanya melalui berbagai kebijakan pada tingkat nasional, tapi  yang amat penting dan strategis adalah pada tingkat perguruan tinggi itu sendiri. Di sinilah letak pentingnya visi perguruan tinggi secara matang direncanakan dan diimplementasikan.
Perguruan tinggi juga perlu memikirkan consumption value (sutau kondisi dimana konsumen mempersepsi kegunaan suatu produk, baik secara individual maupun kolektif yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan memilih suatu produk) suatu perguruan tinggi atau universitas bagi mahasiswanya. Seperti dikatakan Kotler & FA Fox dalam strategi pemasaran perguruan tinggi (1995: 5), masih banyak lembaga pendidikan yang menggunakan paradigma lama, bahwa pasar mereka sangat luas dan selalu ada sepanjang masa karena tiap tahun selalu muncul orang-orang yang membutuhkan perguruan tinggi sebagai tempat belajar. Perguruan tinggi tidak berpikir bahwa calon mahasiswa sebelum memutuskan memilih suatu universitas akan selalu mempertimbangkan apakah suatu universitas mempunyai consumption value baginya. Mereka akan mempertimbangkan nilai fungsional, nilai sosial, nilai emosional, nilai epistemik maupun nilai kondisional suatu perguruan tinggi.

Visi

Salah satu visi dan misi ilmiah masyarakat akademik di perguruan tinggi adalah menuangkan gagasan dan pemikirannya ke dalam bentuk publikasi karya ilmiah. Karya ilmiah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti makalah, laporan penelitian, buku-buku ilmiah, atau karya ilmiah lainnya yang dipublikasikan. Untuk melakukan kegiatan publikasi ilmiah, dapat ditempuh berbagai upaya, di antaranya membudayakan kegiatan keberaksaraan di kalangan masyarakat akademik perguruan tinggi.
Menurut Kurniawan (2002 :3) misi pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi saat ini harus ditransformasi agar keluaran (lulusan) perguruan tinggi di masa depan mampu menunjukkan profilnya sebagai manusia Indonesia baru. Sejalan dengan itu, visi perguruan tinggi di Indonesia harus dipusatkan pada optimalisasi kontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas bangsa Indonesia, pengembangan ipteks, budaya, dan identitas bangsa secara keseluruhan. Perguruan tinggi harus tampil sebagai leader dalam pengembangan kemajuan dan peradaban bangsa, sehingga menjadi andalan seluruh bangsa ini. Kiprah ini meletakkan perguruan tinggi sebagai titik strategis pembangunan nasional dan sebagai aset nasional yang harus tumbuh dan berkembang terus.

Jika dicermati, selama ini  sebagian besar kegiatan Tridharma perguruan tinggi lebih berorientasi pada misi pendidikan dan pengajaran. Sementara misi penelitian dan publikasi ilmiah masih diabaikan. Hal ini terbukti sejak diberlakukannya otonomi perguruan tinggi sebagaimana tertuang dalam PP No. 61 Tahun 1999,  masing-masing perguruan tinggi berlomba-lomba membuka sebanyak-banyaknya program baru, seperti : ekstension, kelas sore, dan lain-lain. Implikasinya, tradisi dan budaya meneliti apalagi mempublikasikan karya ilmiah di kalangan masyarakat akademik perguruan tinggi masih memprihatinkan.

Menurut laporan Dirjen Dikti yang dikutip oleh Kurniawan (2002 : 3), jumlah peneliti Indonesia saat ini baru mencapai rasio 1: 10.000. Artinya, satu peneliti untuk 10.000 penduduk. Dengan populasi penduduk Indonesia saat ini 210 juta jiwa, berarti baru terdapat sekitar 21.000 peneliti. Untuk mendongkrak jumlah peneliti di masa depan, rogram Pascasarjana di Indonesia diharapkan mampu mencetak lulusan setiap tahun sekitar 15.000 peneliti. Sinergi yang baik antara peneliti/penulis, penerbit, dan pembaca  merupakan segi tiga tertutup bertimbal balik, dan akan menjadi lingkaran setan bila satu di antaranya tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Peta penelitian dan publikasi ilmiah masyarakat akademik perguruan tinggi dapat dijadikan tolok ukur, indikator, serta barometer kualitas dan keunggulan perguruan tinggi yang bersangkutan, yang pada gilirannya perguruan tinggi di Indonesia dapat menyebut dirinya ‘universitas bertaraf internasional’.

UNIVERSITAS BERTARAF INTERNASIONAL

Dalam salah satu page di website CURTIN International College (http://www.cic.wa.edu.au/translations/indo_files/welcome.htm) tercantum kalimat seperti ini : “dengan lebih dari 33.000 siswa yang berasal dari lebih dari 100 negara, Curtin adalah sebuah universitas bertaraf internasional yang terkemuka. Curtin telah memiliki reputasi kelas dunia sebagai tempat pembelajaran yang dinamis dan merangsang daya pikir, dan sebagai unversitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terkemuka Australia, Curtin merupakan salah satu tujuan yang paling populer di Australia bagi para siswa internasional.

Apakah istilah ‘taraf internasional’  merujuk pada cakupan wilayah atau kualitas?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘internasional’ menyatakan bangsa-bangsa atau negeri-negeri seluruh dunia. Maka jelas, istilah ini merujuk pada cakupan wilayah. Namun dalam konteks universitas, taraf internasional tentu saja tidak hanya mencakup wilayah, tapi kualitas.  Kualitas tidak hanya merujuk pada mutu lulusan, tapi juga mutu layanan, fasilitas dan lain-lain.  Ukuran kualitas dapat dilihat dari indikator yang digunakan untuk menentukan rangking universitas terbaik.

Penentuan rangking sebagai universitas terbaik umumnya menggunakan indikator sebagai berikut :

WCL

Selain faktor aksesabilitas dan cakupan yang luas, indikator di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencapai universitas bertaraf internasional.

PERPUSTAKAAN BERTARAF INTERNASIONAL

Pasal 40 PP tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa perpustakaan merupakan unsur penunjang pendidikan tinggi. Secara harafiah, unsur penunjang dapat diartikan sebagai sesuatu yang harus ada untuk kesempurnaan yang ditunjang. Peran strategis ini juga terlihat jelas dalam proses akreditasi sebuah pendidikan tinggi, dimana perpustakaan merupakan unsur utama, walau bukan yang pertama. Jika suatu lembaga pendidikan tinggi ingin mendapatkan akreditasi resmi, maka perpusakaan dan segala isinya wajib ada. Artinya, akreditasi tidak akan diperoleh jika lembaga tersebut tidak memiliki perpustakaan. Secara teori, perpustakaan sebetulnya memiliki peran strategis dalam eksistensi pendidikan tinggi. Sebagai unsur penunjang penting, perpustakaan tidak dapat diabaikan, khususnya dalam hal pencapaian visi. Jika sebuah universitas ingin menjadi ‘universitas bertaraf internasional’, otomatis perpustakaan juga harus ikut menjadi ‘perpustakaan bertaraf internasional’.

Tahun lalu, website College Confidential mengangkat topik diskusi tentang rangking perpustakaan terbaik di dunia. Sama seperti penentuan universitas terbaik, indikator yang digunakan untuk penentuan perpustakaan terbaik juga berbeda-beda. Ada yang didasarkan pada jumlah koleksi, fasilitas dan kecanggihan teknologi yang digunakan.

Princeton Review Gourman melaporkan rangking 10 perpustakaan terbaik di Amerika dengan skala penilaian 1- 5 sebagai berikut :

1) Harvard : 4.94
2) Yale : 4.91
3) Illinois UC : 4.89
4) Columbia : 4.85
5) Cornell : 4.83
6) Michigan AA : 4.81
7) Berkeley : 4.77
8) Wisconsin Mad : 4.74
9) Stanford : 4.73
10) Ucla : 4.70

Sementara dari segi jumlah koleksi, urutan Perpustakaan terbaik adalah sebagai berikut:

  1. Harvard University (16 million volumes)
  2. Yale University (11 million volumes)
  3. University of Illinois-Urbana Champaign (10 million volumes)
  4. University of California-Berkeley (9 million volumes)
  5. Columbia University (8 million volumes)
  6. Stanford University (8 million volumes)
  7. University of California-Los Angeles (8 million volumes)
  8. University of Michigan-Ann Arbor (8 million volumes)
  9. University of Texas-Austin (8 million volumes)
  10. Cornell University 7 million volumes)
  11. University of Chicago (7 million volumes)
  12. Indiana University-Bloomington (6.5 million volumes)
  13. University of Wisconsin-Madison (6.5 million volumes)
  14. Princeton University (6 million volumes)
  15. University of Minnesota-Twin Cities (6 million volumes)
  16. University of Washington (6 million volumes)
  17. Ohio State University-Columbus (5.5 million volumes)
  18. University of North Carolina-Chapel Hill (5.5 million volumes)
  19. Duke University (5 million volumes)
  20. University of Arizona (5 million volumes)
  21. University of Pennsylvania (5 million volumes)
  22. Univiersity of Virginia (5 million volumes)

(Note : when those libraries list their volumes, they are refering to titles. Universities have several copies of each volume, depending on the demand for that volume and on the size of the university).

Berbagai kalangan di Amerika mengatakan bahwa indikator yang dapat digunakan untuk mencapai status ‘perpustakaan bertaraf internasional adalah :

  1. Services and collections

  2. Accessability

  3. Variety of literary offerings.

  4. Comfort and availlability of reading/studying spaces.

  5. User Statisfaction

Indikator tersebut dapat dijadikan acuan untuk mencapai perpustakaan bertaraf internasional. Tentu saja tidak semua indikator dapat dicapai secara optimal dalam waktu yang bersamaan, karena setiap indikator tergantung pada kondisi objektif masing-masing perpustakaan. Untuk lebih memudahkan pemahaman, dibawah ini akan diuraikan faktor-faktor penentu yang perlu dikembangkan untuk mengoptimalkan indikator mencapai perpustakaan bertaraf internasional. Uraian didasarkan pada kondisi nyata yang terjadi di perguruan tinggi di Indonesia serta solusi yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah.

a. Dana

Masalah dana sesungguhnya tidak hanya dihadapi perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia. Perpustakaan di luar negeri, seperti Amerika pun tetap mengeluhkan masalah alokasi anggaran mereka. Hal ini terjadi karena investasi di perpustakaan memang tidak langsung memberikan benefit nyata bagi lembaga. Output dari Perpustakaan bersifat intangible, tidak kasat mata : masyarakat cerdas dan kritis! Sementara bagi sebagian besar lembaga atau universitas, perpustakaan belum atau bukan prioritas utama untuk dikembangkan. Namun berbeda dengan di Indonesia, perpustakaan di luar negeri lebih memiliki dukungan dari pemerintah dan kebebasan dari lembaga dalam mencari dana.

Perpustakaan bertaraf internasional memiliki anggaran operasional pokok sebesar rata-rata 10 % dari total anggaran universitas.

WCL-1

b. Koleksi

Dalam ‘Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi’ edisi ketiga yang dikeluarkan oleh DIKTI, dikatakan bahwa : “Perpustakaan perguruan tinggi wajib menyediakan 80% dari bahan bacaan wajib mata kuliah yang ditawarkan di perguruan tinggi. Masing-masing judul bahan bacaan tersebut disediakan 3 eksemplar untuk tiap 100 mahasiswa….!”

Perguruan tinggi bertaraf internasional memiliki rasio antara pengguna dengan jumlah koleksi, minimal 1 : 50. Artinya, 50 judul koleksi untuk satu orang pengguna. Ini masih untuk kawasan Asia seperti National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU). Jika merujuk pada Harvard yang memiliki koleksi 16 milyar, maka dengan jumlah pengguna 1 juta saja, rationya sudah sangat tidak terjangkau : 1 : 16.000! Angka ini sebetulnya tidak mengherankan, mengingat setiap tahun universitas pasti membeli koleksi, sementara jumlah pengguna (baca : sivitas akademika) biasanya stabil atau hanya mengalami pertambahan yang tidak terlalu siginifikan, kecuali ada pembukaan program studi baru.

Perguruan tinggi di Indonesia masih sangat jauh dari ratio tersebut. Universitas Indonesia misalnya, dengan total jumlah koleksi kurang lebih 1 juta berbanding jumlah sivitas akademika hampir 50.000 orang, rationya masih 1 : 20. Persoalan koleksi seharusnya tidak hanya menyangkut kuantitas, tapi juga kualitas. Karena itu sangat penting mengadakan evaluasi terhadap koleksi. Hasil evaluasi juga dapat dijadikan acuan untuk menyusun kebijakan pengadaan koleksi.

Perpustakaan bertaraf internasional memiliki koleksi milyaran judul dengan ratio minimal 1 : 50 antara pengguna dan koleksi, serta langganan online database dari berbagai disiplin ilmu.

WCL-2

c. SDM

Perkembangan teknologi telah menimbulkan kekuatiran tersendiri di kalangan pustakawan, dimana ada kecenderungan bahwa tugas-tugas manusia pada akhirnya akan tergantikan oleh komputer atau mesin. Persepsi ini tentu saja keliru mengingat kegiatan di perpustakaan adalah kegiatan ‘kemanusiaan’. Teknologi tidak dapat memahami pengguna perpustakaan sebagai ‘manusia seutuhnya’ dengan segala kebutuhan informasinya. Teknologi hanyalah alat bantu untuk mempermudah pekerjaan manusia. Namun untuk dapat memanfaatkan teknologi tersebut secara optimal, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten. Sinergi antara manusia yang kompeten dan kecanggihan teknologi akan menghasilkan ‘manusia-manusia’ baru keluaran perpustakaan.

Masalah SDM di perpustakaan harus selalu mendapat perhatian serius dari universitas. Hal ini penting mengingat perpustakaan adalah sarana publik yang dimanfaatkan oleh seluruh sivitas akademika di universitas. Penempatan staf yang tidak kompeten di perpustakaan sebetulnya tidak mengatasi masalah SDM di suatu universitas, melainkan justru mencoreng ‘wajah’ sendiri karena kualitas staf di perpustakaan menjadi salah satu indikator penilaian layanan prima di suatu universitas. Maka kompetensi menjadi persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh sumber daya manusia di perpustakaan, karena kompetensi menawarkan suatu kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam mendayagunakan sumber-sumber daya yang terbatas. Sumber daya manusia atau tenaga kerja yang memiliki kompetensi memungkinkan setiap jenis pekerjaan dapat dilaksanakan dengan optimal, efektif dan efisien.

Staf perpustakaan bertaraf internasional memiliki kompetensi profesional dan kompetensi individual. Menurut US Special Library Associations, kompetensi profesional terkait dengan pengetahuan pustakawan di bidang sumber-sumber informasi, teknologi, manajemen dan penelitian, serta pengetahuan kemampuan menggunakan pengetahuan tersebut sebagai dasar untuk menyediakan layanan perpustakaan dan informasi. Sementara kompetensi individual menggambarkan satu kesatuan ketrampilan, perilaku dan nilai yang dimiliki pustakawan agar dapat bekerja secara efektif, menjadi komunikator yang baik, selalu meningkatkan pengetahuan, dapat memperlihatkan nilai lebih serta dapat bertahan terhadap perubahan dan perkembangan dalam dunia kerjanya. (University of Philipine memiliki sertifikasi (ISO) pustakawan dari pemerintah).

WCL-3

d. Layanan

Layanan perpustakaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi pengguna. Jenis layanan di perpustakaan seharusnya mengakomodir kebutuhan semua pengguna. Misalnya, perpustakaan tidak harus menghapuskan layanan konvensional seperti katalog kartu jika masih ada pengguna yang membutuhkan. Seluruh jenis layanan yang ada di perpustakaan harus berorientasi kepada kepuasan pengguna.

Perpustakaan bertaraf internasional memiliki beragam jenis layanan yang dapat mengakomodir kebutuhan semua jenis pengguna. Peningkatan mutu layanan menjadi prioritas dengan cara melakukan evaluasi rutin. (Perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia melakukan sertifikasi (ISO) terhadap layanannya).

WCL-4

e. Sistem dan teknologi

Sistem dalam konteks perpustakaan merupakan seperangkat aturan atau ketentuan yang ada di perpustakaan yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi-fungsi perpustakaan secara optimal. Sistem juga sangat berkaitan dengan teknologi yang digunakan. Pemanfaatan teknologi di perpustakaan bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan mutu layanan, efektifitas dan efisiensi waktu serta sumber daya manusia serta ragam informasi yang dikelola. Penerapan teknologi di perpustakaan juga telah menciptakan berbagai konsep seperti otomasi perpustakaan dan digital library. Teknologi juga memberi peluang untuk mengembangkan jaringan kerja sama dan resource sharing antar perpustakaan.

Perpustakaan bertaraf internasional tidak harus menggunakan teknologi mutakhir tetapi selalu memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin untuk memuaskan pengguna dalam hal aksesabilitas.

WCL-5

f. Fasilitas

Fasilitas di perpustakaan menjadi salah satu indikator yang dijadikan pengguna untuk menilai atau mengukur kinerja perpustakaan. Layanan di perpustakaan akan berjalan secara optimal jika didukung dengan fasilitas yang tepat. Fasilitas di Perpustakaan tidak hanya ditujukan untuk pengguna, tapi juga untuk staf. Lembaga harus memfasilitasi staf dengan baik untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif.

Perpustakaan bertaraf internasional tidak selalu memiliki fasilitas mewah, tapi lengkap dan selalu berfungsi optimal.

WCL-6

PENUTUP

Perpustakaan adalah salah satu indikator utama untuk mendukung universitas bertaraf internasional. Pemerinta, melalui DIKTI perlu lebih serius mengkaji beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh untuk mencapai 25 perguruan tinggi bertaraf internasional. Sebagai langkah awal, adalah membenahi perpustakaan dengan tahap-tahap berikut :

  1. Bentuk library board untuk tingkat Nasional

    • Brainstorming dan bersinergi dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan perguruan tinggi negeri dan swasta yang sudah dianggap cukup berhasil dalam mengembangkan perpustakaan.

    • Manfaatkan pakar-pakar dari setiap perguruan tinggi untuk mengkaji dan memberikan masukan.

  2. Tetapkan visi.

    • Lakukan studi banding ke perpustakaan perguruan tinggi lain di luar negeri yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan perpustakaan bertaraf internasional. Studi banding dapat di breakdown berdasarkan bidang yang akan dikembangkan. Misalnya, fasilitas mengacu ke NUS, teknologi merujuk ke NTU, ISO layanan ke UKM, ISO pustakawan ke University of Philipine, dsb.

  3. Kaji kebijakan.

    • Review kebijakan yang ada sekarang menyangkut pengembangan perpustakaan perguruan tinggi.

    • Libatkan pimpinan universitas untuk memikirkan mengenai copyright, karena hal ini menyangkut publikasi perpustakaan.

    • Masukkan semua unsur-unsur tersebut di atas ke dalam pembahasan RUU Perpustakaan Nasional yang kini sedang dibahas di DPR.

  4. Kembangkan secara bertahap.

    • Pilih perguruan tinggi yang dapat dijadikan sebagai pilot project dengan jangka waktu tertentu.

    • Bentuk konsorsium.

    • Gunakan teknologi yang sudah ada.

  5. Bentuk jaringan.

    • Manfaatkan para pengusaha di bidang online database, pengembang software, penerbit, media dan pihak-pihak terkait sebagai sponsor.

*******

DAFTAR PUSTAKA

Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi. 2004. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta.

Kurniawan, Khaerudin. 2002. Visi Perguruan Tinggi di Era Pasar Bebas. http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2002/8/3/op1.htm – 26k (24 April 2006)

Kurniawan, Khaerudin. 2003. Transformasi Perguruan Tinggi Menuju Indonesia Baru. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, edisi Maret 2003, Tahun ke – 9 No. 041.

Rangking of the besat college libraries. 2005. http://www.collegeconfidential.com/ (24 April 2006)

The 100 best universities in Asia. http://www.asiaweek.com (24 April 2006)

Leave a comment

Filed under Librarianship

Leave a comment