Pustakawan Asertif: Idaman Masyarakat! (Tinjauan Terhadap Tugas Dan Kompetensi Pustakawan Dalam Mencapai Kepuasan Pengguna)

By. Kalarensi Naibaho

BAB I.

PENDAHULUAN

Buku Megatrends yang ditulis John Naisbitt adalah buku yang mencoba menangkap perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat Amerika, di mana ia menemukan sepuluh arus atau kecenderungan perubahan. Berita utamanya, bukan pada temuannya itu, tapi bagaimana sepuluh kecenderungan ini ditemukan. John Naisbitt menangkap sepuluh arus kecenderungan itu melalui analisis isi surat kabar dan majalah, selama bertahun-tahun! Lebih dari enam ribu surat kabar lokal ia ikuti dan dianalisis isinya selama bertahun-tahun! Dapatkah pustakawan menjadi John Naisbitt baru?

Sekilas, prolog di atas mungkin terlihat tidak berkaitan dengan judul tulisan ini. Mungkin juga tidak akan ditemukan relevansinya dengan uraian-uraian berikutnya. Penulis hanya ingin menyampaikan bahwa apa yang dikerjakan Naisbitt adalah sesuatu yang sangat biasa di kalangan pustakawan. Membaca berpuluh-puluh harian saban hari, mengkliping berita-berita penting dan mengikuti perkembangan masyarakat melalui berita-berita yang tersaji di media. Tapi kenapa bukan pustakawan yang menerbitkan ‘Megatrends?”. Pertanyaan yang bagus untuk memulai diskusi mengenai pustakawan yang diidamkan masyarakat saat ini!

A. Pustakawan dan Masyarakat

Beberapa waktu yang lalu, di Amerika ada sinyalemen yang mengatakan bahwa di negara demokrasi tersebut, profesi pustakawan merupakan most unpopular job (pekerjaan paling tidak popular). Uniknya, itu terjadi di negara yang justru sangat menghormati pustakawan sebagai profesi cukup bergengsi dan intelek karena pekerjaannya selalu bersentuhan dengan ilmu pengetahuan. Bahkan pustakawan di negeri adi kuasa ini disebut sebagai pengawal demokrasi. Tapi kenapa pekerjaan ini tidak popular?

Populer berarti dikenal dan disukai orang banyak, atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. 1999). Itu sebabnya, mungkin jika ada pertanyaan: “profesi apakah yang paling popular di masyarakat?” jawabnya hampir pasti : bukan pustakawan! Dokter, atau mungkin artis, adalah profesi yang jamak dan terkenal di masyarakat, karena orang-orang yang mengemban profesi tersebut sering didengar, dilihat atau hadir dalam kehidupan sehari-hari, serta dianggap sebagai pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Artinya, popularitas seringkali dikaitkan dengan kuantitas kehadiran orang-orang tertentu di tengah-tengah kehidupan masyarakat serta tingkat kehidupan sosial ekonominya. Keadaan yang sangat jauh dari kehidupan pustakawan!

Pembahasan mengenai pustakawan Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari status dan citra profesi pustakawan. Citra negatif yang selama ini melekat pada profesi pustakawan dapat dikatakan sebagai akumulasi dari keluhan-keluhan mengenai kurangnya pengakuan dan penghargaan terhadap lembaga perpustakaan di Indonesia. Menurut Totterdell (2005), pustakawan masih memiliki masalah dalam hal citra dan status. Dia juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, masalah tersebut terlihat lebih buruk pada pustakawan akademik yang secara terus menerus berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas kontribusi mereka yang sangat besar di lembaganya. Bahkan di Inggris, status, gaji dan citra pustakawan pada semua tingkatan dan unit-unit informasi selalu menjadi masalah, dan kebanyakan praktisi di sektor ini yakin bahwa situasi tersebut lebih memburuk daripada berkembang. Kondisi tersebut secara tidak disadari telah membentuk suatu kondisi dimana untuk menjadi masyarakat cerdas dibutuhkan perpustakaan, bukan pustakawan! Artinya, persoalan pustakawan menjadi persoalan internal lembaga perpustakaan, bukan persoalan masyarakat.

Bulan Mei 2006 lalu, bersama dua orang rekan pustakawan penulis menghadiri acara penganugerahan penghargaan pustakawan teladan untuk tingkat daerah. Penghargaan tersebut diberikan tidak hanya kepada pustakawan, tetapi juga kepada guru teladan, petugas pajak teladan, petugas kebersihan teladan, siswa teladan, dll. Bapak Walikota didampingi dengan pejabat-pejabat Kodya menyerahkan penghargaan kepada kami dan memberi ucapan selamat. Diantara para pejabat yang berbaris di belakang Bapak Walikota, ada perwakilan dari militer beserta istrinya yang dengan polosnya bertanya sambil mengucapkan selamat :”Apa itu pustakawan? Ibu kerjanya apa?” Sejenak kebanggaan kami bertiga sirna oleh pertanyaan sederhana itu…….(:

Fakta-fakta tersebut di atas hanyalah secuil dari kenyataan bahwa di tengah-tengah masyarakat kita, pustakawan masih sangat jarang atau bahkan tidak dikenal. Kondisi ini tentu dipicu oleh beberapa hal, yang tanpa proses ilmiah pun dapat kita ketahui penyebabnya, antara lain : pekerjaan pustakawan belum menjadi kebutuhan pokok masyarakat, dan menjadi pustakawan bukanlah pekerjaan yang menjanjikan dari segi finansial dan bukan profesi bergengsi. Persepsi masyarakat yang tidak memahami tugas pustakawan yang sesungguhnya terbentuk berdasarkan pengetahuan dan pengalaman berinteraksi dengan pustakawan sendiri. Karena itu terlalu sederhana jika pustakawan hanya menyalahkan masyarakat atas persepsi tersebut.

Menurut Kotler (1995), perpustakaan termasuk organisasi yang bergerak dalam bidang jasa, yang setara dengan perusahaan asuransi, perusahaan penerbangan, rumah sakit dan bank. Artinya, walaupun merupakan lembaga nirlaba, perpustakaan perlu menerapkan manajemen modern untuk menghasilkan kinerja yang optimal karena dengan cara-cara inilah masyarakat melihat dan mengenal bahwa perpustakaan dijalankan oleh orang-orang professional bernama pustakawan. Sebagaimana perusahaan jasa, kinerja optimal sebuah lembaga diukur dari kepuasan pelanggan, dan kepuasan pelanggan hanya akan dicapai dari pelayanan yang berkualitas.

Mengacu pada topik tulisan ini, adalah tidak mudah untuk mengetahui pustakawan seperti apa yang menjadi idaman pengguna, karena setiap pengguna memiliki karakteristik dan kebutuhan berbeda. Profesi pustakawan agak berbeda dengan profesi lain, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan/pengguna. Sebagai acuan dasar, ada beberapa fakta yang harus diingat oleh pustakawan :

  1. Keluaran (output) perpustakaan adalah masyarakat cerdas, berpikir kritis dan menjadi pembelajar seumur hidup. Sesuatu yang intangible. Tidak ada skala atau indiktor pasti keberhasilan sebuah perpustakaan, jika itu menyangkut kualitas masyarakat.

  2. Pengguna perpustakaan tidak selalu paham informasi apa yang dibutuhkannya. Kebanyakan pengguna datang ke perpustakaan dengan harapan dapat mengetahui informasi apa yang tepat untuk memecahkan masalahnya.

  3. Membangun kepuasan pengguna dan pelanggan merupakan inti dari pencapaian profitabilitas jangka panjang.

  4. Kepuasan pengguna hanya dapat dicapai dengan layanan perpustakaan yang berkualitas. Kualitas layanan hanya dapat dijamin dengan pustakawan yang professional dan kompetensi yang tepat.

Fakta-fakta tersebut menggambarkan bahwa sosok pustakawan akan diidamkan masyarakat untuk jangka panjang, itupun jika pustakawan tersebut mampu memenuhi kebutuhan informasi pengguna secara professional dan pengguna dapat merasakan betapa kunjungan-kunjungannya ke perpustakaan secara tidak disadari telah membentuk dirinya menjadi warga masyarakat yang melek informasi, berpikir kritis dan menjadi pembelajar seumur hidup. Artinya, kita tidak perlu bertanya kepada pengguna pustakawan seperti apa yang mereka idamkan. Pustakawanlah yang seharusnya mengetahui layanan apa yang perlu mereka berikan kepada pengguna supaya pengguna puas dan pada akhirnya menjadikan pustakawan sebagai partner belajar. Hal ini dapat dilakukan melalui interaksi rutin dengan pengguna dan analisis kebutuhan pengguna untuk mencapai kepuasan. Persoalan pokoknya adalah : bagaimana menciptakan pustakawan professional yang dapat memberikan layanan berkualitas dan memuaskan pengguna tersebut?

BAB II.

PEMBAHASAN

A. Profesi Pustakawan

Profesi diartikan sebagai jabatan yang memerlukan pendidikan khusus untuk mendapatkannya (Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Cet. 2, 1999). Turunan istilah ini ialah professional, yang berarti orang yang mengerjakan sesuatu bukan berdasarkan dorongan rasa senang belaka, melainkan juga karena merupakan pekerjaan, jabatan atau profesi yang diemban sebagai suatu mata pencaharian. Persyaratan profesi seperti dikemukakan oleh Abraham Flexner yang dikutip achmad (2001:1) paling tidak harus memenuhi ketentuan berikut :

  • Profesi merupakan pekerjaan intelektual, menggunakan intelegensia yang bebas dan diterapkan pada permasalahan tertentu dengan tujuan untuk memahami dan menguasainya;

  • Profesi merupakan pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sains;

  • Profesi merupakan pekerjaan praktikal, bukan melulu teori akademik tetapi dapat diterapkan dan dipraktekkan;

  • Profesi terorganisasikan secara sistematis, ada standar cara melaksanakan dan mempunyai tolok ukur;

  • Profesi merupakan pekerjaan altruistic yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayani, bukan kepada profesi itu sendiri.

Istilah profesionalisme menunjukkan ide, aliran, ajaran dan ilmu yang bertujuan mengembangkan profesi agar dilaksanakan secara professional dengan mengacu kepada norma, standar dan kode etik tertentu dalam memberikan layanan terbaik kepada klien. Merujuk pada definisi tersebut di atas, maka pustakawan adalah sebuah pekerjaan intelektual dan praktikal yang terorganisasikan secara sistematis berdasarkan standar dan tolok ukur serta bersifat altruistic (mengutamakan kepentingan orang lain – pengguna). Namun mengingat tolok ukur popularitas sebuah profesi pada tingkat sosial ekonomi, maka pustakawan menjadi tidak popular karena pekerjaan ini tidak menjanjikan kekayaan dalam bentuk materi atau peningkatan status sosial.

1. Tugas Pustakawan

Tugas pustakawan tidak dapat dipisahkan dari tugas dan fungsi perpustakaan sebagai lembaga penyedia dan pengelola informasi yang bertugas untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi pengguna untuk mendapatkan informasi yang tepat secara efisien. Selain sebagai sumber informasi, perpustakaan juga merupakan suatu instansi pendidikan non formal yang menyediakan koleksi dan informasi yang beraneka ragam dan berguna untuk mengubah cara berpikir, bertingkah laku dan berperasaan dalam menghadapi proses kehidupan yang terus berubah. Fungsi inilah yang menjadi kunci atau rujukan pustakawan dalam menjalankan tugasnya, dimana pustakawan tidak cukup hanya menyediakan akses informasi, tapi juga menjadikan informasi tersebut bermanfaat bagi pengguna dalam rangka mencapai masyarakat cerdas dan berpikir kritis.

Menurut Pendit (2001:4), secara umum kepustakawanan lahir akibat adanya dua macam gerakan dalam masyarakat (social movement) yang berbeda, namun saling berhubungan. Pertama, gerakan yang muncul dari upaya manusia menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan, yang mengembangkan kepedulian pada klasifikasi ilmu pengetahuan dalam rangka membantu para cerdik cendekiawan menemukan informasi (information retrieval) dan menarik kesimpulan. Kedua, kepustakawanan dilahirkan oleh gerakan sosio-budaya dengan kepedulian yang agak berbeda, seperti kepedulian pada hal-hal yang berkaitan dengan membaca, kesusasteraan, dsb. (public librarianship).

Berkaitan dengan apa yang dikatakan Pendit, para ahli di bidang Perpustakaan memfokuskan perhatian pada fungsi perpustakaan sebagai tempat dimana disiplin ilmu berhubungan dan merupakan lingkungan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam hidup mereka untuk bekerja serta merupakan lingkungan alami untuk pemecahan masalah dengan dunia informasi tanpa batas. Patricia Breivik dan E Gordon Gee yakin bahwa peran perpustakaan harus diarahkan pada pencapaian information literacy masyarakat atau masyarakat yang melek informasi, dan untuk itu pustakawan harus dapat mengajarkan pengguna berpikir kritis (1989 : 227). Filosofi Breivik dan Gee adalah bahwa dalam sebuah masyarakat informasi, pengguna perpustakaan harus dapat mengarahkan diri menjadi pembelajar yang mandiri dan ini menjadi tugas utama pustakawan.

Berdasarkan pada fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa gairah membaca adalah pokok perhatian semua pustakawan, namun keakraban dengan karya-karya umum serta segala aspek komunikasi masyarakat menjadi prasyarat utama profesi pustakawan. Menurut Pendit (1992:79) di era informasi ini perpustakaan harus berhenti menjadi lembaga yang mengutamakan data bibliografi, dan harus berubah menjadi lembaga yang memprioritaskan layanan informasi. Layanan informasi bukan sebatas menyediakan informasi-informasi yang dibutuhkan pengguna, namun memastikan bahwa informasi yang tersedia dalam suatu prpustakaan benar-benar bermanfaat bagi pengguna.

A. Pengguna Perpustakaan

Titik sentral semua layanan di perpustakaan adalah kepuasan pengguna (user oriented). Pemahaman ini dimiliki oleh pustakawan di tingkat mana pun. Persoalannya adalah apakah pustakawan mengetahui dan memahami siapa penggunanya?

Secara teori, pengguna perpustakaan adalah seluruh masyarakat dari berbagai strata kehidupan sosial ekonomi yang berbeda, kelompok umur yang berbeda dan tingkat pendidikan yang berbeda. Perpustakaan adalah milik masyarakat luas yang dapat diakses seluruh masyarakat. Namun dalam prakteknya, tidak selalu atau tidak harus demikian. Perpustakaan-perpustakaan khusus tentu memiliki pengguna yang khusus pula. Bahkan, perpustakaan umum atau yang seharusnya terbuka untuk umum, sebenarnya tetap memiliki pengguna khusus kecuali perpustakaan tersebut dapat menyediakan koleksi yang sama banyak dan kualitasnya untuk semua disiplin ilmu.

Penguna suatu perpustakaan secara tidak disadari dibentuk oleh perpustakaan itu sendiri, melalui koleksi dan layanan yang disediakan. Perpustakaan yang mengoleksi buku-buku seni, secara otomatis akan memiliki pengguna yang berminat terhadap seni. Tapi prinsip dasar bahwa perpustakaan merupakan tempat dimana pengguna dapat memperoleh berbagai macam sumber informasi tetap harus dijadikan acuan.

1. Perilaku Pengguna Perpustakaan

Perubahan perilaku pemakai harus selalu diantisipasi pustakawan dengan mengubah paradigma lama, yaitu manajemen tradisional yang sangat birokratis dan hirarkis yang mengakibatkan kurang memberi peluang munculnya gagasan-gagasan baru dan kreatif. Jika pengguna sebagai titik sentral orientasi perpustakaan, maka usaha untuk lebih memahami pemakai dalam berbagai aspek, termasuk perilakunya merupakan persoalan yang sangat kritis. Masalah yang lebih serius sebenarnya bukan lagi pada pemetaan atau segmentasi kelompok sasaran, tetapi bagaimana mengidentifikasi kebutuhan informasi pengguna karena kebutuhan dan minat terhadap informasi serta karakter pengguna sangat beragam. Jika ditinjau dari perspektif psikologi, perilaku merupakan fungsi interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya, yang berarti perilaku seseorang tidak hanya ditentukan dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungannya. Karena itu, dalam konteks perpustakaan, perilaku pengguna selain ditentukan oleh karakteristik pribadi masing-masing, juga dipengaruhi oleh lingkungan perpustakaan. Apabila ada perilaku pengguna yang tidak sesuai dengan harapan pengelola, atau sebaliknya, maka perilaku tersebut harus dilihat sebagai hasil interaksi dari keduanya.

Perilaku pengguna perpustakaan berkaitan dengan budaya atau kebiasaan masyarakat pengguna. Masyarakat Indonesia dikenal menganut budaya lisan. Pernyataan ini menjadi pro dan kontra di kalangan pustakawan, khususnya dalam menyediakan layanan bagi pengguna. Namun terlepas dari pro dan kontra tersebut, penulis ingin menyampaikan pengalaman sebagai pustakawan di UI, dimana pustakawan melayani pengguna/mahasiswa dari berbagai daerah/negara. Penulis melihat bahwa ada perbedaaan mencolok antara mahasiswa Indonesia dan mahasiswa asing. Mahasiswa asing, jika berkunjung ke perpustakaan dan mendapati di pintu masuk perpustakaan ada tulisan :”Mohon maaf, Perpustakaan tutup karena….!”, akan langsung pulang dan mencatat kapan perpustakaan akan buka kembali. Mahasiswa Indonesia, jika melihat tulisan yang sama, akan tetap masuk atau mencari pustakawan atau satpam dan bertanya :”Perpustakaannya tutup ya?” “Kenapa?” Demikian juga dalam hal menggunakan fasilitas yang ada di perpustakaan. Mahasiswa asing, setelah selesai membaca buku akan mengembalikan buku ke rak sesuai dengan nomor panggilnya serta merapikan kursi dan meja. Hal ini selalu mereka lakukan walaupun Perpustakaan UI menerapkan sistem layanan terbuka dimana pengguna tidak harus mengembalikan buku ke rak setelah selesai membaca karena ada petugas yang akan merapikan. Sebaliknya dengan mahasiswa Indonesia, ketika akan membaca buku, biasanya menurunkan sebanyak mungkin buku dari rak dan membacanya hanya beberapa serta meninggalkannya begitu saja. Memang hal ini tidak melanggar aturan, namun menggambarkan bahwa sangat penting bagi pustakawan mempelajari budaya pengguna sehinga dapat memberikan layanan yang tepat. Karakter-karakter pengguna seperti ini patut menjadi perhatian pustakawan karena setiap perpustakaan memiliki pengguna-pengguna tertentu.

2. Kebutuhan Pengguna Perpustakaan

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, kebutuhan pengguna perpustakaan juga berubah. Kebutuhan pengguna bukan semata-mata akan informasi, tapi bagaimana menggunakan informasi tersebut dengan tepat. Hal ini sangat berkaitan dengan fasilitas dan layanan yang harus disediakan pustakawan. Kebutuhan pengguna akan terpenuhi jika pengguna merasa terpuaskan.

a. Kepuasan Pengguna Perpustakaan

Kepuasan pengguna adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan.. Kepuasan merupakan perbedaan antara harapan dan unjuk kerja yang selayaknya diterima oleh pengguna/pelanggan. Jika perbedaan antara harapan dan unjuk kerja sedang, kepuasan tidak akan tercapai. Sebaliknya jika unjuk kerja melebihi dari yang diharapkan, kepuasan meningkat. Karena harapan yang dimiliki pengguna/pelanggan cenderung selalu meningkat sejalan dengan meningkatnya pengalaman mereka (Yazid, 1999). Jika pengguna menjadi titik sentral layanan perpustakaan, maka semua layanan harus ditujukan kepada kondisi memuaskan pengguna. Pustakawan perlu memiliki pemahaman mengenai fakor-faktor yang berkaitan dengan kepuasan pengguna dan tipe-tipe kebutuhan yang berpengaruh terhadap pencapaian kepuasan pengguna

b. Tipe-tipe Kepuasan Pengguna (Konsumen)

Menurut Glenn H. Mazur (1993), ada tiga tipe kebutuhan yang harus diperhatikan agar tercapai kepuasan pelanggan :

  • Kebutuhan yang tampak (Revealed Requirement). Kebutuhan ini didapatkan dengan cara menanyakan kepada pelanggan tentang apa yang mereka inginkan. Kepuasan terhadap kebutuhan ini sangat tergantung pada ada atau tidaknya apa yang diinginkan oleh pelanggan didalam pelayanan yang kita berikan. Sebagai contoh, makin cepat (lambat) kita melayani konsumen maka konsumen akan semakin puas (tidak puas).

  • Kebutuhan yang diharapkan (Expected Requirement). Merupakan harapan pelanggan yang paling dasar terhadap pelayanan kita kepada mereka. Absennya kebutuhan ini menyebabkan pelanggan sangat kecewa, tetapi memenuhi kebutuhan tersebut tidak memberikan arti yang berlebih pada pelanggan (karena dianggap biasa). Contoh : apabila perpustakaan buka lebih awal atau tepat waktu, jarang pelanggan mencatatnya, namun apabila jam buka perpustakaan tutup lebih awal, maka pelanggan akan merasa kecewa. Kebutuhan ini harus dipenuhi perusahaan agar pelanggan puas.

  • Kebutuhan yang dibangkitkan (Exciting Requirement). Kebutuhan ini susah untuk diungkapkan dan dipenuhi, karena merupakan kebutuhan yang tingkatannya berada di atas kebutuhan yang diharapkan pelanggan. Bila kebutuhan ini tidak diberikan (absen), maka pelanggan tidak merasa kecewa (karena pelanggan tidak tahu atau tidak membutuhkannya), dan apabila kebutuhan ini terpenuhi maka pelanggan akan merasa surprise dan sangat puas.  Misalnya jika pustakawan memberikan informasi-informasi penting diluar yang diharapkan pengguna.

Satu hal yang harus dicatat adalah bahwa kepuasan pengguna hanya dapat dicapai dengan mengembangkan layanan berkualitas. Pustakawan perlu memahami bagaimana memuaskan pengguna dengan layanan berkualitas. Quality Function Deployment (QFD) yang dikembangkan oleh Yoji Akao bersama dengan Katsuyo Ishihara dari Matshushita Electric dapat dijadikan acuan. Menurut Akao, 1990, QFD didefinisikan sebagai suatu metode untuk mengembangkan suatu quality design yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan dan penterjemahan keinginan pelanggan kedalam target-target dari design dan point-point quality assurance yang penting melalui production stage. Sedangkan menurut Glen H. Mazur, 1993, QFD adalah suatu sistem dan prosedur untuk membantu perencanaan dan pengembangan-pengembangan pelayanan (services) dan jaminan (assure) sehingga memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan oleh pelanggan.

QFD merupakan suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk memuaskan pelanggan dengan cara menterjemahkan keinginan pelanggan kedalam suatu design atau rancangan produk dan jaminan produk dimana semua unit-unit organisasi akan bekerja secara bersama-sama untuk mem-break down aktivitas mereka secara sistematis dan terstruktur menjadi aktivitas-aktivitas yang sangat detail sehingga dapat dikuantitatifkan dan dikontrol guna memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan. Konsep ini dapat diaplikasikan di perpustakaan tanpa melihat lembaga tersebut sebagai lembaga nirlaba. Konsep kualitas pelayanan dapat dipahami melalui ‘consumer behaviour’ atau perilaku konsumen yaitu suatu perilaku yang dimainkan oleh konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi suatu produk maupun pelayanan yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka. Karena itu perbaikan kualitas layanan harus menjadi prioritas utama. Menurut Gaspersz (1997 : 235-236) ada beberapa atribut yang harus diperhatikan dalam perbaikan kualitas pelayanan, yaitu :

  1. Ketepatan waktu pelayanan

  2. Akurasi pelayanan yang berkaitan dengan rehabilitas pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.

  3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan

  4. Tanggung jawab, yang berkaitan dengan penerimaan pesanan, maupun penanganan keluhan

  5. Kemudahan dalam mendapatkan layanan

  6. Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi

  7. Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas

  8. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang, kemudahan dan informasi

  9. Atribut pendukung pelayanan lainnya.

c. Faktor-faktor penyebab ketidakpuasan.

Pengalaman di lapangan, tidak tercapainya kepuasan pelanggan terjadi akbiat adanya kesenjangan antara kebutuhan pengguna dengan layanan yang tersedia, yang disebabkan oleh :

  • Kurangnya komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan.Perpustakaan cukup tanggap terhadap jenis layanan yang dibutuhkan pengguna, namun tidak concern terhadap kualitas layanan yang tersedia.

  • Tidak adanya standarisasi tugas. Pustakawan tidak memiliki acuan yang jelas dalam memberikan layanan sehingga cenderung menggunakan standar pribadi masing-masing.

  • Tidak ada kesesuaian antara skill pegawai dengan bidang tugas yang sesuai. Penempatan staf yang tidak sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu layanan akibat tidak diterapkannya sistem kepegawaian berbasis kompetensi.

  • Tidak ada kesesuaian antara sistem kontrol/evaluasi dengan sistem imbalan bagi pegawai.

  • Tidak ada dampak posiitif atau negatif terhadap suatu kesalahan atau prestasi yang dilakukan pustakawan. Hal ini menyebabkan pustakawan tidak terlalu perduli apakah pekerjaannya benar atau salah.
  • Kurangnya teamwork.Tidak ada sistem kerjasama atau hubungan komunikasi professional antar staf. Masing-masing layanan berjalan sendiri-sendiri.

Faktor lain yang umum dialami pengguna sehingga menimbulkan ketidakpuasan adalah kemampuan berkomunikasi pustakawan yang tidak tepat. Banyak keluhan pengguna yang timbul akibat kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Sebaliknya, banyak masalah yang dapat diselesaikan jika memiliki kemampuan komunikasi yang tepat, baik antar pustakawan maupun antara pustakawan dan pengguna.

B. Kompetensi Pustakawan

Interaksi antara pemakai dan pengelola jasa perpustakaan mengimplikasikan suatu pola hubungan sosial pada tataran yang lebih luas. Tidak dapat dipungkiri bahwa bagaimanapun canggihnya mekanisasi dan automatisasi di bidang jasa perpustakaan, kontak secara personal pun tetap diperlukan, terutama pada kultur masyarakat lisan. Salah satu contoh adalah adanya layanan konsultasi (konseling) di perpustakaan. Maka, hal utama yang menjadi pertimbangan dalam mencapai kepuasan pengguna adalah kompetensi pustakawan dalam berkomunikasi.

Kompetensi pustakawan, akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan, khususnya dari para praktisi perpustakaan. Masalah ini menjadi semakin mendesak karena tuntutan kebutuhan pengguna dan perkembangan teknologi informasi yang cepat dan dinamis. Pada kenyataannya, kompetensi pun selalu berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Special Libraries Association (SLA) pada tahun 1996 merumuskan dua jenis kompetensi di abad 21 yang harus dimiliki para pendidik, mahasiswa, praktisi dan pegawai, yaitu kompetensi professional dan kompetensi individu. Namun pada Juni 2003 (SLA, 2003 : 2) rumusan ini direvisi dan ditambah satu kompetensi inti atau core competence, yang merupakan pengait kompetensi profesional dan kompetensi individu.

Mengacu pada uraian mengenai kebutuhan pengguna, kepuasan pengguna dan faktor-faktor penyebab ketidakpuasan, di bawah ini diuraikan kompetensi-kompetensi yang perlu dimiliki pustakawan untuk menampilkan kinerja yang professional sehingga dapat memuaskan pengguna. Kompetensi-kompetensi ini tentu saja di luar kompetensi dasar sebagai pustakawan, seperti pendidikan, pengetahuan akan hal-hal yang berkaitan dengan teknis perpustakaan dan pemahaman akan tugas dan fungsi perpustakaan sebagai penyedia dan pengelola informasi.

1. Assertive Communication

Kemampuan berkomunikasi merupakan poin utama dalam memberikan layanan informasi. Segala aktifitas di perpustakaan berkaitan erat dengan kemampuan berkomunikasi, baik antar pustakawan maupun antara pustakawan dan pengguna. Menurut De Saez (1993) strategi komunikasi yang dapat digunakan di pusat informasi adalah strategi komunikasi AIDA (Awareness, Interest, Decision Action).

Awareness, pihak pusat informasi harus sebisa mungkin menarik perhatian pengguna dan pelanggan untuk mengetahui apa yang dimiliki dan dapat ditawarkan oleh pusat informasi. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menyebarkan leaflet, booklet, pameran, publikasi melalui media cetak maupun elektronik, kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan dengan mengadakan ceramah, seminar, dll.

Interest. Apabila perhatian komunikan telah terbangkitkan, hendaknya disusul upaya menumbuhkan minat (interest), yang merupakan derajat yang lebih tinggi dari perhatian. Minat adalah kelanjutan dari perhatian yang merupakan titik tolak bagi timbulnya hasrat (desire) untuk melakukan suatu kegiatan yang diharapkan komunikator. Dari rasa ketertarikan tersebut perlu diadakan kegiatan lanjutan demonstrasi berupa ajakan yang mengarah pada atau pengambilan keputusan (decision) untuk melakukan atau untuk mengikuti kegiatan yang ditawarkan oleh pusat informasi tersebut. Inilah yang disebut tahap action atau tindakan.

Kemampuan berkomunikasi yang baik menjadi andalan utama pustakawan dalam menghadapi berbagai karakter pengguna. Salah satu teknik komunikasi yang sangat tepat dimiliki pustakawan adalah komunikasi asertif, yaitu kemampuan menerapkan strategi berkomunikasi yang tepat sesuai karakter pengguna. Menurut Hariyadi (2006 : 1) pola komunikasi asertif adalah komunikasi yang “paling sehat” dan efektif; memudahkan pemecahan masalah; mengurangi ‘ledakan emosi’; membutuhkan ‘skills’ dan perubahan pola pikir. Strategi komunikasi efektif menjadi sangat penting mengingat karakter masyarakat Indonesia dengan kecenderungan budaya lisan. Orang yang menerapkan komunikasi asertif memiliki ciri-ciri berikut :

  1. Mempertahankan hak-haknya tanpa mengorbankan hak orang lain

  2. Selalu berkomunikasi berdasarkan “saling menghargai” dan selalu berusaha menemukan jalan keluar untuk kepentingan bersama.

  3. Pendengar aktif, objektif dan tidak emosional.

  4. Memiliki kekuatan personal dan mau berbagi kekuatan yang dimiliki dengan orang lain.

  5. Mendapatkan ‘respect’, dukungan dan diterima dengan positif oleh lingkungan.

  6. Memiliki “good sense of humor”

  7. Siap menanggung resiko yang mungkin timbul

  8. Bertanggung jawab, memiliki integritas dan kebebasan berpendapat.

Komunikasi yang asertif akan menghasilkan hubungan yang harmonis antara pustakawan dan pengguna, dimana masing-masing pihak dapat saling memahami dan menghargai sehingga lebih memudahkan untuk memecahkan suatu permasalahan.

2. Continuous improvement

Menurut manajemen Toyota, hal yang terpenting untuk meningkatkan kualitas adalah memberdayakan proses dan orang. Toyota dikenal sebagai perusahaan yang memiliki manajemen sangat efisien dan manusiawi. Perusahaan yang telah mendunia ini menganut dua pilar yang mendukungnya :”Continuous Improvement” (peningkatan berkesinambungan) dan “rasa hormat terhadap orang lain”. CI yang sering kali disebut kaizen adalah pendekatan dasar Toyota dalam menjalankan bisnisnya. Nilai sebenarnya dari CI terletak pada pembentukan suasana belajar yang terus menerus (continuous learning) dan suatu lingkungan yang tidak hanya menerima, tetapi benar-benar menyambut perubahan. Lingkungan semacam itu hanya dapat diciptakan di tempat yang memiliki rasa hormat terhadap orang lain.

Prinsip ini sangat tepat diterapkan di Perpustakaan karena Perpustakaan merupakan tempat dimana proses pembelajaran terjadi untuk menghasilkan masyarakat cerdas dan berpikir kritis. Perpustakaan harus menciptakan suasana belajar yang terus menerus di lingkungannya, dimana para pustakawan dapat mengembangkan diri menjadi manusia-manusia yang selalu siap menerima perubahan dan memiliki apresiasi yang tinggi pada pengguna dan kebutuhan-kebutuhannya. Komunikasi yang asertif hanya dapat tercipta dalam lingkungan yang memiliki rasa hormat pada orang lain.

Beberapa poin penting yang dapat dilakukan pustakawan dan perpustakaan adalah dengan memfokuskan perhatian pada variable-variabel berikut :

asertif

BAB III.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian diatas berkaitan dengan pustakawan yang diidamkan masyarakat saat ini :

  1. Masyarakat pengguna perpustakaan membutuhkan pustakawan yang profesional dalam melayani informasi. Profesionalitas pustakawan dapat dicapai melalui layanan berkualitas dan dengan pustakawan yang memiliki kompetensi tepat.

  2. Pustakawan tidak cukup hanya memahami kebutuhan pengguna, tapi harus dapat menghantar pengguna menjadi masyarakat cerdas dan berpikir kritis.

  3. Peran pustakawan adalah membentuk masyarakat menjadi pembelajar seumur hidup dengan menciptakan masyarakat yang melek informasi.

  4. Diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai para pemakai jasa layanan informasi dengan tujuan untuk mengantisipasi jenis dan tingkatan informasi yang dibutuhkan. Pustakawan perlu memiliki kemampuan komunikasi yang asertif dan menjadikan lingkungannya sebagai tempat pembelajaran yang terus menerus.

  5. Layanan di Perpustakaan harus dikelola secara profesional berdasarkan prinsip-pirnsip manajemen modern. Perpustakaan tidak boleh terpaku pada cap lembaga tersebut sebagai organisasi non profit.

  6. Pustakawan harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang asertif dan mampu menciptakan lingkungan pembelajaran yang berkesinambungan. Pustakawan perlu ‘mempopulerkan’ diri di tengah-tengah masyarakat melalui kegiatan kepustakawanan.

B. Saran

Upaya-upaya yang dapat ditempuh perpustakaan untuk mencapai kepuasan pengguna melalui layanan berkualitas dengan kompetensi pustakawan yang tepat harus dimulai dari analisis terhadap kebutuhan pengguna, profil pengguna, kompetensi pustakawan, dan disain kualitas layanan. Semua itu bermuara pada pengembangan kompetensi pustakawan. Lembaga-lembaga penghasil lulusan pustakawan atau yang memberikan pelatihan-pelatihan kepustakawanan (seperti Perpustakaan Nasional RI) perlu mengkaji ulang kurikulun dan materi-materi pelatihan yang diberikan selama ini. Materi yang berkaitan dengan manajemen modern dan peningkatan kualitas kepribadian serta kemampuan berkomunikasi harus menjadi bagian dari kurikulum/pelatihan.

DAFTAR PUSTAKA

Akao, Yoji. 1983. “Quality Function Deployment : Integrating Customer Requirements into Product Design”. Translated by Glenn Mazur. Cambridge, MA : Productivity Press

Akao, Yoji. 1991. “Hoshin Kanrai : Policy Deployment for Successful TQM” Translated by Glenn Mazur. Cambridge, MA : Productivity Press., Inc., USA.

Breivik, Patricia S. dan E. Gordon Gee. (1989). “Information Literacy : Revolution in the Library”. American Library Association Presidential Committee on Information Literacy : Final Report, Chicago. http://www.infolit.org/about/bio.html-7k.

De Saez, Eileen Elliot. 1993. “Marketing concept for libraries and information services”. London : Library Association.

Gaspersz, Vincent. 1997. “Manajemen Kualitas : Penerapan Konsep-konsep Kualitas Dalam Manajemen Bisnis Total”. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gaspersz, Vincent. 2002. “Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa”. Jakarta : Kerjasama Yayasan Indonesia Emas, Institut VINCENT dengan PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hariyadi, Utami. 2006. “Effective Communication for Assertive Librarian”. Pelatihan Pustakawan Universitas Indonesia.

Kotler, Philip. 1995. “Manajemen Pemasaran : Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian”. Jakarta : Salemba Empat.

Liker, Jeffrey K. 2006. “The Toyota Way”. Jakarta : Penerbit Erlangga

Mazur, Glenn H. 1993. “QFD for Services Industries”. Japan Business Consultans Ltd

Pendit, Putu Laxman. 1992. “Kepustakawanan Indonesia : Potensi dan Tantangan”. Jakarta : Kesaint Blanc

Pendit, Putu Laxman. 2001. “Darimana Datangnya Pustakawan?” Marsela. Vol. 3 No. 1

Totterdell, Anne. 2005. “An Introduction to Library and Information Work”. London : Facet Publishing.

Yazid. 1999. “Pemasaran jasa : konsep dan implementasi”. Yogyakarta : Ekonisia.

Leave a comment

Filed under Soft Skills

Leave a comment